Kumpulan Cerita Sex 2018 - Cenit bersandar di dinding, gadis itu duduk sambil memeluk kedua
lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan
celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan
montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela
rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.Sedikit tengadah dan dengan
tatapan mata sendu ia berujar lirih
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya.”
Aku
hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah,
beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh
nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan
merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuhnya terasa panas
dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan buah
dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas
nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman diiringi dengan
erangan penuh kenikmatan.
Tanpa
kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan
buahdada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha ia
mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.
Dengan
rakus kukulum buah dada besar Cenit sepenuh mulutku. Ia mengerang antara
sakit dan enak. Nafasku pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali
terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.
Puncak dadanya basah oleh
air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting
susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat
prosesperegangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun dalam
sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Cenit tahu susah
mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher dan
pinggang gadis itu. Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan
mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku pun mengulumnya seperti bayi
yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi
mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan
kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil. ‘Gigit
sedikit, Kak.’ pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan
gigiku kugigit sedikit puting susunya. ‘Aih.’ Jeritnya lirih sambil
menggigit bibir. Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan
nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya melunglai menahan
nikmat.
Kemudian tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan
rangsangan nikmat menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang.
Secara naluriah aku menyelusuri tubuh sintal Cenit.
Mulai dari leher,
terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul terus ke bagian
bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya
sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan
erat, tanganku mencoba masuk ehm.. bagian itu terasa hangat dan basah.
Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari
menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak
jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku
menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti
menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia
mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh
oleh jemariku.
Dengan penuh pengertian aku pun turun dari leher buah
dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati setiap lekuk liku tubuhnya
yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari
mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak
terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan,
kak jangan hentikan..!” pintanya. “Puaskan aku.?” katanya lagi tanpa
rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan
untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu.
Begitu pula aku kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku
menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya
yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Cenit
memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah.
Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Cenit memegang kepalaku,
meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah. “Ayo, Kak,
udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong.Aih..” Aku menurut. Dulu
aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal
itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai
di bagian itu aku terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang
tepat di depan mataku. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di
celah-celahnya
Bagian itu, bibir kemaluan Cenit yang merah dan basah
dipenuhi cecairan lendir yangbening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka
celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul nampak berkedut karena
rangsangan nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia berkedut setiap
denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku
memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin
mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada Cenit yang putih itu nampak
naik turun dengan cepat. Kulihat lagi kemaluan gadisku itu semakin
merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukku cairahn kental pun
mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti
orang yang sedang ngiler.
Cairan itu terus mengalir perlahan sampai
ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya menitik ke
lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh
di lantai kamar itu.
Terasa ia merenggut rambutku dan menekankan
kepalaku ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu. Aku pun semakin
bernafsu. Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati
seluruh sudut kemaluan Cenit
“Ahh. Ahhhh nikmat sekali, Kak!” Cenit
merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat.
Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara kemaluannya semakin
merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin
dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapakali
klentitnya tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh
yang hebat. Gadis itu melolong menahan nikmat aku terus menyelusuri
bagian terdalam vaginanya. Oh hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa
kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama
nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga
sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik
terutama di bagian pangkal rasanya ingin aku melepaskan nikmat di saat
itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis
ini minta untuk segera di tuntaskan.
Semakin aku memainkan
kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya.
Sesekali aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus
air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu.
Tiba-tiba
ia tertawa mengikik seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang
bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun
kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya.
Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigi.
Tiba saatnya,
dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya
menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, ia mengeluarkan
lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba
“Ohhhhh hhhhahhhhhhhh” jeritnya lepas. “Enak sekali”
Pantatnya
mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya dan
setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi.
Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, aku
mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang
mengalami orgasme.
Tegang, merah, basah berkedut-kedut, cairan pun
membanjir sampai ke kedua pahanya.. mengalir dengan banyaknya sampai ke
mata kaki Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri
mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia
memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena
baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin
kuat
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu
semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa semakin
menegang dan mengeras. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan
kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri
tubuhku dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang kulakukan tadi,
mulutnya menciumi perutku dan terus turun sesampai di bagian itu ia
memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah..
memandangku dengan senyuman nakal. “Besar sekali punyamu, Kak! Ini
untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas
pangkalnya. Aku terkesiap jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok
kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Kak! Aku ingin kamu
menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu
milikku, tidak boleh untuk orang lain.” Aku mengangguk sambil tersenyum,
perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan
ia mulai mengocok pengkal kemaluanku sesekali ia mengecup bagian
kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang.
Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa”
Kemudian
ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan
meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin
menegang menahan nikmat.. keras dan enak.
Gadis itu sangat lihai
mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan.
Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku jemarinya terus
juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan lagi aku merenggut
rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong pantatku ke
depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Cenit”
kataku sambil mencengkram rambutnya. Ia menatapku, wajahnya tepat di
ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecil.
Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil
setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak
dalam genggaman tangan Cenit, menyemburkan air manikyang sangat banyak,
mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke
rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani
yang mendarat di wajahnya
“Hhhhhhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Cenit
bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya
nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju,
mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil
tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan,
memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku
mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang
matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu,
Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya”
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri.
Ketika
angin berdesir melalui kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah
mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan
pakaian, duduk mengobrol di ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost
kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda,
seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis itu
berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil.
Aku tak mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai.
Ha ha ha hampir lupa, cairan itu masih berserak di lantai. Buru-buru ia
pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain. Perlahan dia lap
lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini punyaku” katanya sambil
menunjuk setitik cairan. “Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum.
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang
rokok.
Seraya bangkit dan tertawa “Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya
dong sayang. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh
kasih dan sayang. “lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih
menikmatinya..” bisik gadis itu, “Aku ikhlas demi Kakak” bisiknya lagi
di telingaku. Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk
tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam belum begitu
larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang tamu rumah
kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di atas dipan sederhana
yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari tadi punyaku keluar
masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali
gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa
sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku
juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak memerlukan
foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan
mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan, kepuasan di malam yang
basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan malam aku ada janji dengan
Cenit kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini. Padahal
malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms
aku minta ketemuan, ada yang penting katanya. Aku paham yang penting
itu apa.
Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu,
ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost nya yang menyambutku. Dia
suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Cenit, dia bilang sedang
keluar sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Rinay kawan
sekampungnya. Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama
kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh tinggi semampai berkulit putih
dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia pergi ke
belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya mengambil
sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari belakang
ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan montok. Apalagi malam
ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut tanpa lengan.
Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang terbiasa
bekerja cukup keras.
Tak terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan
pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang belakang yang agak
gelap itu. Pantatnya lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis
tampak putih mulus dengan tumitnya yang kemerahan. Kalau tidak ingat
Cenit kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia
sudah punya pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki
yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali
sambil membawa nampan dengan segelas air putih. “Maaf, Bang, cuma ini
yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas
itu di meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis
itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau tidak mau
merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi
semampai, tubuh itu tampak padat dan berisi. Buah dadanya tampak
menantang tatkala ia berdiri.
Liani mengibas-ngibaskan rambut
panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum. “Ada perlu apa, Bang? Kok
tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi
rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
Gadis yang
satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang
lain memanggilku’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak
lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain saja.
Gadis itu
duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di perutnya.
Tak ada canggung sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya dan
membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke batas paha. Aku
menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami
berdua sementara Cenit dan Rinay entah ke mana.
“Masih lama mereka
kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku. Gadis
itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya
malam ini. “Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya,
kedua pangkal lengannya terangkat ke atas menampakkan ketiaknya yang
bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka
kembali. Katanya ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di
depanku. Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus
itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan.
Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm tahu dong. Nggak sabar pengen ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen ‘itu’ ya ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono. Gadis itu
merapikan
posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus
menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya
itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun tidurnya yang
berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin
apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di
bahunya. “Nggak.” Jawabku sekenanya. Ku lihat ia menatapku tajam. Aku
balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa rasanya
gadis ini? apa bedanya dengan Cenit kekasihku?
Pikiran-pikiran itu
berkelebat cepat begitu saja. Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak
ingat lagi dengan Cenit, dengan Rinay temannya yang barangkali akan
pulang. Aku pun bangkit, meraih tangan gadis itu. Liani diam saja, tapi
dia tersenyum sambil tertawa sedikit.
“Nggak ada waktu, Kak” katanya
pelan tapi membalas remasan tanganku. Kuselipkan jemariku di jemarinya,
dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin
melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Cenit dan Rinay belum
pulang. Dan itu tidak masalah apakah mereka akan tahu atau tidak, aku
pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan itu mengiang di telingaku
semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi jika kulihat tubuh Liani yang
montok dan dadanya yang naik turun menahan nafas yang mulai terengah.
Semakin
lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa tubuh
gadis itu memanas. Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang tertahan.
Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang disuguhkan gadis
ini, meski bukan kekasihku, tapi perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia
memang beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa,
tapi tak kusangka dia menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang
begitu terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak di dipan
itu aja, yuk.” Ajaknya. Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan
agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur tipis
jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka,
seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah
dipan. Di pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti
menurunkan gaun tidurnya.
Aku hanya bisa memandang mengagumi
tubuhnya yang putih mulus dan penuh padat berisi itu. Sementara
menurunkan celana dalamnya ia memandangku sembari menatap ke arah bawah.
Oh, aku belum membuka celana panjangku, terlalu mengagumi kemolekannya.
Tak
lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di
bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh
lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Cenit memerlukan fore play
yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia barangkali tidak memerlukan
itu. Atau “Kalau malam begini aku selalu membayangkan bersamamu, Bang.
Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leherku. Pipinya
menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi
hangat itu. Liani mengangguk. “Kadang bayanganmu begitui jelas seolah
merasuki tubuhku. Kalau begitu aku suka emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya
coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya,
menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku. Ya, terasa hangat
dan basan
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu..
emhhmmm tanpa sadar ‘dia’ pun sudah basah Aku mencium telinga Liani,
dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding
kegelian.
“Kadang” bisiknya lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya,
aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku
menyelusupkan jemariku ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya aku
memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang
selama ini dia pendam
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya “Aku udah
gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu jangan
sia-siakan malam ini walau sebentar, aku akan puas.”
Gadis itu
menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka
pahanya sedikit lebih lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke
liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar
memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah
yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai
bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas.
Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadaku.
Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di
lepaskan dalam pelukanku malam ini juga.
Terus terang di menit-menit
penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Cenit. Gadis ini butuh
dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke
dalam. Segala rem sudah di lepas dan kami pun melayang tanpa kendali
menikmati semuanya malam ini.
Kurasa hujan di luar semakin deras.
Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi
menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak
sedahsyat gemuruh nafsu kami berdua, aku dan Liani yang tengah menikmati
cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk liang
senggamanya. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan memelukku
dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan
menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh ehhhhhhh..hhhhhh.”
erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke kemaluannya. Luar
biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas.
Kurasa
sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang
kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat
batang kemaluanku yagn menegang.
Aku kendurkan sedikit gerakanku.
Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Liani mengerti, ia
meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada
besar yang putih berkeringat itu meenyeruak dari pelukanku. Buah dada
gadis desa yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara anak-anak kota
yang besar tapi loyo.
Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan
mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting susunya yang
merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan.
“Ohhh..
geli, Bang!” aku terus mengulum. Berganti ke kiri dan ke kanan,
kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas.
Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi
Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku
juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah
tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang
mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan
buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis itu. Kurasa dia
mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian ia menurunkan
kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, BAng.” pintanya.
Aku
juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling
berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya
yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang
kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari
liang kemaluan Liani. Malam ini sunguh hanya milik kami berdua.
Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Liani
melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit lalu menahan.
Gepit tahan gepit tahan. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan
gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai
kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening.
Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling
memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Cenit dan Rinay keburu
pulang.
Aku pun mempercepat ayunanku sehingga di malam yang menjadi
sunyi ini terdengar jelas suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan
Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. CrekCrekkk.. Crrek.
Kejantananku
naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu.
Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan
akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan
pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas
kemaluanku yang keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan
lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa
gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai tuntas. PenggaRinaynya
adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia benamkan
sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas
nikmat. Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit
kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia
mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhhhhhhh euuughhhhh.. ahhhhh ”
rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya nafasnya
menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah
aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku.
Tapi sesuatu menyebabkan aku berhenti Masih dalam keadaan bersetubuh
dengan Liani ada sekelebat bayangan melintas. Aku memandang dengan ujung
mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun
terkejut bayangan siapa itu?
Perlahan kulihat wajah Liani yang
matanya masih setengah terpejam. Kemudian matanya perlahan terbuka Dia
pun melihat bayangan itu dan menatap langsung ke ruang tengah.
Samar-samar di bola matanya yang hitam itu kulihat dua sosok berdiri
menatap ke arah kami.
Itu bayangan Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah
beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami yang sedang
asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi
crekcrekk.crekk.. alat kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah,
aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun Liani sudah
tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak memberi tanda bahwa
kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah membiarkan mereka
menonton kami yang sedang beradegan mesra di atas ranjang.
Terdengar
bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami
yang masih dalam posisi senggama ini. hmmm aku tahu itu suara Cenit, aku
bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak tahu apa yang harus
kuperbuat, kemudian Liani melakukan sersuatu yang tidak kuduga. Dia
seperti melambaikan tangan dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’
kostnya itu masuk ke kamar
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok.”
Bisiknya di telingaku. “Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak
aku enak. Mereka juga pasti maklum.”
Oh, ya? Bercinta dengan orang
yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka pula? Apa pula ini?Exibit kah
ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan sejauh itu. Kalau bagi Liani
tidak apa-apa, dan Cenit serta Rinay pun justru menikmati pemandangan
ini. kuteruskan saja.
Perlahan dua gadis itu berlalu, seperti tak
terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil Rinay yang terdengar. Aku memandangi
mereka yang pergi menjauh, tiba-tiba Cenit menoleh ke belakang. Dia
menatap mataku langsung, di bibirnya tersungging senyuman yang aneh di
situasi seperti ini senyum yang tampak nakal.
Aku tak tahu apa akan
terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan Cenit? Bagaimana pula
aku akan menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa
lagi aku berlagak seperti seorang lelaki yang setia hanya pada satu
perempuan. Tapi tampaknya Cenit pun tak keberatan jika aku mengencani
kakak kostnya Liani.
Ah. Dunia ini memang aneh di tempat yang
tampaknya biasa-biasa saja ternyata tersimpan bakat-bakat cinta yang
terpendam yang menanti untuk dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki
semacam aku. Aku tak tahu harus bergembira atau entahlah!
Aku
meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak
syahwatnya kini giliran aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi
kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang basah itu. Bunyi
crek.. crek.. crek.. creeeek terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin
aja, Bang.. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah
hendak menghapus keraguanku. Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini
dengan irama yang lebih cepat dan tak lama kemudian creettcretttt sambil
menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang
mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu.
Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani mengenakan pakaiannya.
Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut
masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang
selama ini didambakannya. Seraya membetulkan tali beha dan menyempalkan
payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku
hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari
hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok.
Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana
yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang
berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang
seksi. Aku menelan ludah pasti dia bakal marah karena kelakuan kami
tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak
tanda-tanda emarahan di sana. sejenak dia hanya diam.. kemudian
tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan
tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah,
bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin
dipuaskan juga.
“Cenit maafkan.. aku telah” belum sempat kuselesaikan
kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku dan menciuminya dengan
garang. Oh, gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah
atau sudah terangsang. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan
bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin
berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air
liurku, meneguk dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap
cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang
selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan
gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak memakai
beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali
melihat kalian berdua tadi. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua
susunya ke arahku. Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku
mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakankuterhenti. Dengan
wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang
ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan
hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit
mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan
rambutku. Masih dalam posisi duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya
yang sudah setengah terbuka. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga
gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan
bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak
pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir. Bahkan dia
menyuruhku untuk memegangnya jemariku menyelusup ke liang senggama
Cenit, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh
klentitnya yang merah dengan ujung jemariku. “Akhh.” Cenit melolong
tertahan. “Geli, Kak!” desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk
leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan
Liani tadi bercinta.
Tak banyak cingcong kurengkuh dan kugendong
tubuh hangatnya ke dipan itu. Di sana dia kubaringkan. Tapi ketika aku
hendak membuka celana, tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah
bugil itu. Aku heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu,
Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana panjangku.
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi
pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat.” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku” katanya agak keras.
Ia
turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah
dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring,
Cenit pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan
dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.”
Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelaminku itu dan
memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia
menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke
tubuhnya.
“Ehhhhh. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang
rakus menetek di susu ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan
pantatnya dengan cepat oh batang kemaluanku di cengkram dan di
gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku
lakukan. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan
capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat menekan-nekankan
pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari
memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek
crek terdengar lagi kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan
kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari
meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa
terus merembes dari kemaluan Cenit. Dia sudah sangat terangsang. Liang
kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan.
Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan vaginanya. Terang
saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan,
dia pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Aku terus
meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dadaku,
hampir membuatku sesak nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama
sepuluh menit Cenit bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya.
Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi
keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung
dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang
tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan
keringat di wajahku. Pada saat itulah kembali aku terkesiap. Di ujung
ruangan, di pintu kamar Cenit, tegak sesosok tubuh perempuan menatap
kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Rinay, teman sekost
Cenit. Dia menatap kami tanpa berkedip. Tangan kanannya tertangkup di
dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas ujung gaun tidurnya yang
di atas lutut.
Ketika kami saling memandang dalam posisi Cenit masih
di atas dan asyik dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay
mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha
gadisnya yang padat
Entah sadar entah tidak gaun itu sudah
sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana dalam yang
tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam itu menampakkan
segumpal tumpukan daging berbulu dengan celah merah di tengahnya.
Ujung
jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan
memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun kemudian dia menatapku.. dengan mata
setengah terpejam.
Saat itulah Cenit menengadah. Dan menyurukkan
kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah berkepanjangan.
Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai
habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Cenit berdenyut
hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan nikmat nafasnya sangat
memburu dan..
Dia pun lunglai dalam pelukanku. Sementara air mani
gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai
bagian perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya membiarkan ia
mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak
orgasmenya.
***
Sampai beberapa menit kami masih berpelukan,
kejantananku yang masih tegang itu masih berada di dalam ’sangkar’-nya.
Cenit diam tak bergerak dalam pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu
yang bersemayam dalam tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur
nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda perlahan dia bangkit dan
melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas.
Perlahan alat kelaminku itu keluar dari vagina Cenit. Ketika sudah
keluar seluruhnya. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti
bunyi plastik lengket yang basah akan di lepas..
Clep..crrrllek.
Cenit tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya
atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia
pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya
menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti
baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan
berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana
dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit sudah
kembali. Membawa sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya.
“Pakai ini aja, Kak!” katanya seraya mengambil celana panjang dan
kolorku, melipatnya dan merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali
ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas
minuman, kalau tadi Liani membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit
menyuguhiku dengan teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa
kehausan, bayangkan saja melayani dua wanita secara bergilir tanpa
istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku
terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum sempat
bertanya Cenit berkata perlahan, “Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku
tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti
bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis
itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semaleman besok kamu kan
nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami
masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang permainan kami
berdua barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Cenit, sampai-sampai
kuat main di atas hampir setengah jam lamanya, sementara aku anteng aja
di bawah.
Tiba-tiba Cenit bangkit”Kak,” katanya, “Aku ke dalam
sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit
merapikan dandanannya yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku
pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu
kamarnya aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain
gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur
pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak
putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Rinay, hmmm jantungku
berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi ketika aku dan Cenit
sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu
sedang apa dia sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai pintu
kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi, bantal tersusun
di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di biliknya? Sedikit
heran aku terus melangkah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya
Oh
di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit,
sementara cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin.
Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan
tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang
sudah ada Rinay yang tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku,
ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan
pandangannya ke tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya. Aku ikhlas aja, yang penting. Dia bisa juga ikut merasakan .”
Aku
melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan
sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami
lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi kami bertiga
bersahabat, resminya kamu memang milik aku tapi.. berbagi antar sahabat
tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama tidak dengan
yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat bahu.
Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia tidak marah apalagi jadi
membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia jadi terangsang dan
menikmati juga, apa salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam
ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara menjadi
ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin
mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan
singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru,
dia memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah tahun.
Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang dipenuhi
poster Cenit sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula
Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Cenit yang memintaku untuk
memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis paling pendiam yang jarang
ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula hehehe.. dasar gede
milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar
pintu kamar terbuka, perlahan Rinay masuk ke kamar itu. Seperti orang
baru bangun tidur. Ia langsung duduk di dipan itu, “Ada apa, Kak?”
tanyanya seolah tak mengerti. Aku tersenyum, pandai juga dia
menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua
bola mata gadis itu membulat menatapku seolah tak percaya. Terus terang
saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya tumbuh
sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi tak mengurangi
kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku menarik
gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti menolak,
tapi kemudian malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga.”
“Kamu
bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku. Aku
mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya
terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih
erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat beberapa
kali ia mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku mulai
merengkuhnya. Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku
tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap gumpalan
dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku
membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di
leherku. Nafasnya terdengar agak memburu, gadis ini sudah mulai
terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata belum
cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya
gairahnya lebih menggelora.
Entah berapa lama kami saling mencium
saling menyusup dan berkelindan, aku pulang suka buah dadanya. Sangat
kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting susunya sangat kecil,
hanya sebesar biji kacang hijau. Tampak sekali putting itu sudah
mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu
menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan
adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas,
semakin intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir
pelicin yang kental sudah mulai keluar.
Perlahan aku mengusap-usap
jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh
bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi
pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan
mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay
sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun
memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti
menembus lipatan daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep.
Masuklah aku ke tubuh Rinay. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan
nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat
terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya,
tapi dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit
pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin.
Sementara Rinay pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di
leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas.
Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin
membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari,
apalagi rumah kost itu tidak berAC, tubuhku pun kembali berkeringat.
Tapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami
masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan
penisku secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu
memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek’.
Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Rinay dengan
kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan
Rinay membalas dengan mengempot ke atas. Menggerakkan pinggulnya
berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku
beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam.
“Ahhh,” gadis itu
mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil
menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang
hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan
itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan
membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif
mengocok dan menekan memek Rinay. Tulang kemaluan kami beradu, bibir
kemaluanya yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat
dan sangat basah karena lendir mani Rinay sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat.. “Ooohhhhh.”
Kumpulan Cerita Sex 2018 -Aku
membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan
tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring
dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes
dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kakeigh oh…!”
Berbarengan
dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring
dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara
liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa
menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa
nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya
sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami
saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari
posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang cantik.
Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah dan bibirnya tampak
membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari sela kemaluannya.
“Enak,
Rinay?” gadis itu mengangguk. Kemudian ia mengusap keringat yang
menitik di dadaku. “Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,”
katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Beberapa
saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit
itu. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak,
menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia
ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh
tertidur, tak menyadari air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku
pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun.
Ketika itu aku dan Rinay masih berpelukan, sementara di luar terdengar
suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu
adalah suara Cenit yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan
terdengar suara orang sedang mandi, barangkali Liani sedang membersihkan
tubuhnya.
Rinay pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah
dadanya yang kenyal itu menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah
terdengar Cenit sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari
bibirnya terdengar nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan masuklah
Cenit ke dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut
kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura
tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik tapi dia juga
pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan menarik kain
sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku
menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah
beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah
menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh,
jauh lebih besar dari gagang sapu ini pantesan enak sekali.” Guraunya
sambil tergelak sendiri. “Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Rinay. Tuh
mumpung lagi berdiri”
Hampir tak kuat aku menahan tawa dengan canda
Cenit, tapi tampaknya Rinay menanggapinya dengan serius, dia
menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas dan mengempot ke bawah.
Bibir kemaluannya terasa menempel di batang kemaluanku.
“Tuuh, kan!
Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay. Enak kok!” sergah Cenit sambil
memegangi pinggang gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku pun
memegang pangkal kemaluanku, menghadapkannya ke memek Rinay yang hangat.
“Udah
pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan
pantatnya, maka. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek
Rinay. “Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa”
bisik Cenit agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Cenit di kamar
ini, kami mengulangi permainan semalam, tapi kali ini Posisi Rinay ada
di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong
tubuhnya dengan meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Sekarang
posisinya berubah, aku berbaring sementara Rinay duduk mengangkang di
atasku. Alat kelamin kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan
benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum kemaluanku sampai ke
pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir
membasahi jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang sementara masih
bersatu, bibir Rinay tersenyum, beberapa kali ia menyibakkan rambutnya
yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun, gerakanya seperti orang sedang
naik kuda. Naik turun berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran
Cenit di sana. ternyata ia berdiri di belakang Rinay, memperhatikan kami
yang sedang bercinta dengan gaya seperti itu. Gadis itu menyeringai
lebar menampakkan sederetan giginya yang putih bersih.
Kemudian
tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada
besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut
kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai akhirnya bugil
sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di
susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas kepalaku dengan jemarinya.
Sementara Rinay terus asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku
memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal.
Cewek itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita
enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas. Aku setuju, dia
sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang
mengocok-ngocok dari atas.
Cenit melepas pelukannya dan naik ke atas
ranjang, mendudukkan pantatnya di dadaku mengangkang lebar menampakkan
memeknya yang tercukur rapi. Gundukan dagingnya putih mulus dan
kemerahan, bibir kemaluannya tebal dan dipenuhi cairan kental dan
hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian
mulai menekan ke arah mukaku. “Ahh ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi
nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi.
Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu. Cenit segera
merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya
Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke
depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan mukaku.
Wajahku
semakin tertekan oleh gumpalan memek Cenit, sementara pahanya menggepit
kedua pipiku dengan kuatnya. Akkkh aku hampir tidak bisa bernapas. Ya
ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan aku sesak nafas!
Terdengar
suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki
kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan
cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek
Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh cewek itu
lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk berbarengan ke
tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan sekaligus,
montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun
bangkit, perlahan Cenit turun dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan
mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah
kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti
bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih
menegang dan basah bergelimang cairan memek Rinay.
Aku terdiam
sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi mencapai
puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan permainnya, ketika itulah
tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada Rinay dan Cenit
yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan
pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih
berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan
Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan
susunya yang montok itu ke balik beha. Wajah Liani semburat memerah.
Mungkin dia tadi mendengar lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan
menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan
ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya
menampakkan kedua paha yang padat dan putih mulus. Sementara Rinay dan
Cenit bergegas keluar kamar, meninggalkan kami berdua saja di sana.
semerbak wangi harum tubuh Liasni menusuk hidungku. Gadis ini baru
selesai mandi.
Liani naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan
kejantananku ke memeknya yang, ya ampun, ternyata sudah bengkak merekah
merah dan basah pula. Tapi siapa tahan menahan tubuhnya yang tinggi
montok itu setelah tadi ditindih oleh dua gadis montok sekaligus.
Aku
bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget.
Tapi dia menurut. Kemudian kusuruh ia berdiri dan ini dia aku ingin
merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan
menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di depanku,
Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela
bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah. Cairan kental
menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh
di dadanya sudah sedemikian hebat. Tampak dari buah dadanya yang
menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman jantungnya yang
meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani
sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin menunggit
menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju
menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu. Creepp..
kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan
gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke
depan. Akhirnya masuk juga. Oh, rasanya seperti dipilin-pilin. Aku
menekan lagi kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat Liani
seolah menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh.” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang. Emmghhh”
Aku
bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku
rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih
buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat
kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis
itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi
agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh kami semakin berkeringat
ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan
menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak sulit main
dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati
permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika
sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay
masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke
ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami tak
mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke depan
sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu menyatu
erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang dan basah oleh
keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat, semakin lama
semakin hebat.
“Aghhhhhhh” aku menggeram menahan rasa.
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih
tak kalah dahsyat bahkan lebih hebat dari erangan Cenit dan Rinay
berbarengan.
“Bang agh! Enak banget,oh Aku gak tahan lagi!”
Samar
kulihat Rinay mengenakan celana dalamnya. Ketika itu pula aku dan Liani
saling menekan hebat menahannya dan merasakan detik-detik penuh
kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat bercucuran dari
sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan srrr.. keluar banjir yang
hebat. Tubuhnya bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun
menekan semakin dalam.
Mmhhh berkali-kali kemaluanku seperti meledak
dalam cengkraman memek Liani. Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis
itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas
nikmat di pagi nan cerah itu.
Rinay mendehem kecil ketika kami
menyudahi permainan itu dengan rasa puas. Liani menjatuhkan tubuhnya
yang basah oleh titik keringat di dipan, menelentang dengan nafas masih
terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak membengkak, merah dan berkilat
penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam keluar dari kamar, di dekat
pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia
pun berlalu.
. Setengah
atasnya
bersandar
busana
Cenit
di dinding
duduk
gadis
itu
kedua
lututnya
masih
memeluk
rapi
sambil
0 comments:
Post a Comment