Kumpulan Cerita Sex 2018 -  Cenit bersandar di dinding, gadis itu duduk sambil memeluk kedua 
lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan 
celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan 
montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela 
rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.Sedikit tengadah dan dengan
 tatapan mata sendu ia berujar lirih
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya.”
Aku
 hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, 
beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh
 nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan 
merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuhnya terasa panas 
dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan buah 
dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas 
nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman diiringi dengan 
erangan penuh kenikmatan.
Tanpa 
kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan 
buahdada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha ia 
mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.
Dengan 
rakus kukulum buah dada besar Cenit sepenuh mulutku. Ia mengerang antara
 sakit dan enak. Nafasku pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali 
terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.
Puncak dadanya basah oleh 
air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting 
susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat 
prosesperegangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun dalam 
sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Cenit tahu susah 
mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher dan 
pinggang gadis itu. Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan 
mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku pun mengulumnya seperti bayi 
yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi 
mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan 
kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil. ‘Gigit 
sedikit, Kak.’ pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan 
gigiku kugigit sedikit puting susunya. ‘Aih.’ Jeritnya lirih sambil 
menggigit bibir. Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan 
nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya melunglai menahan 
nikmat.
Kemudian tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan
 rangsangan nikmat menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. 
Secara naluriah aku menyelusuri tubuh sintal Cenit.
Mulai dari leher,
 terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul terus ke bagian 
bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya 
sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan
 erat, tanganku mencoba masuk ehm.. bagian itu terasa hangat dan basah. 
Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari 
menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak 
jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku
 menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti 
menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia 
mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh 
oleh jemariku.
Dengan penuh pengertian aku pun turun dari leher buah 
dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati setiap lekuk liku tubuhnya 
yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari
 mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak 
terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan,
 kak jangan hentikan..!” pintanya. “Puaskan aku.?” katanya lagi tanpa 
rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan
 untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu. 
Begitu pula aku kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku 
menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya 
yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Cenit 
memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah. 
Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Cenit memegang kepalaku, 
meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah. “Ayo, Kak, 
udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong.Aih..” Aku menurut. Dulu 
aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal
 itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai
 di bagian itu aku terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang 
tepat di depan mataku. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di 
celah-celahnya
Bagian itu, bibir kemaluan Cenit yang merah dan basah 
dipenuhi cecairan lendir yangbening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka 
celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul nampak berkedut karena 
rangsangan nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia berkedut setiap 
denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku 
memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin 
mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada Cenit yang putih itu nampak
 naik turun dengan cepat. Kulihat lagi kemaluan gadisku itu semakin 
merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukku cairahn kental pun 
mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti 
orang yang sedang ngiler.
Cairan itu terus mengalir perlahan sampai 
ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya menitik ke 
lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh
 di lantai kamar itu.
Terasa ia merenggut rambutku dan menekankan 
kepalaku ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu. Aku pun semakin 
bernafsu. Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati 
seluruh sudut kemaluan Cenit
“Ahh. Ahhhh nikmat sekali, Kak!” Cenit 
merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. 
Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara kemaluannya semakin 
merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin 
dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapakali 
klentitnya tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh
 yang hebat. Gadis itu melolong menahan nikmat aku terus menyelusuri 
bagian terdalam vaginanya. Oh hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa 
kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama 
nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga 
sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik 
terutama di bagian pangkal rasanya ingin aku melepaskan nikmat di saat 
itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis 
ini minta untuk segera di tuntaskan.
Semakin aku memainkan 
kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya. 
Sesekali aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus
 air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu.
Tiba-tiba 
ia tertawa mengikik seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang 
bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian. 
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun 
kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya. 
Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigi.
Tiba saatnya, 
dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya 
menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, ia mengeluarkan 
lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba
“Ohhhhh hhhhahhhhhhhh” jeritnya lepas. “Enak sekali”
Pantatnya
 mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya dan 
setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi.
 Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, aku 
mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang 
mengalami orgasme.
Tegang, merah, basah berkedut-kedut, cairan pun 
membanjir sampai ke kedua pahanya.. mengalir dengan banyaknya sampai ke 
mata kaki Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri 
mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia 
memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena
 baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin 
kuat
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu 
semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa semakin
 menegang dan mengeras. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan
 kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri 
tubuhku dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang kulakukan tadi, 
mulutnya menciumi perutku dan terus turun sesampai di bagian itu ia 
memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah.. 
memandangku dengan senyuman nakal. “Besar sekali punyamu, Kak! Ini 
untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas 
pangkalnya. Aku terkesiap jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok 
kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Kak! Aku ingin kamu 
menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu 
milikku, tidak boleh untuk orang lain.” Aku mengangguk sambil tersenyum,
 perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan
 ia mulai mengocok pengkal kemaluanku sesekali ia mengecup bagian 
kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. 
Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa”
Kemudian
 ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan 
meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin 
menegang menahan nikmat.. keras dan enak.
Gadis itu sangat lihai 
mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. 
Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku jemarinya terus 
juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan lagi aku merenggut 
rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong pantatku ke 
depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Cenit”
 kataku sambil mencengkram rambutnya. Ia menatapku, wajahnya tepat di 
ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecil. 
Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil 
setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak 
dalam genggaman tangan Cenit, menyemburkan air manikyang sangat banyak, 
mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke
 rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani 
yang mendarat di wajahnya
“Hhhhhhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Cenit
 bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya 
nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju, 
mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil
 tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan, 
memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku 
mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang 
matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, 
Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya”
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri.
Ketika
 angin berdesir melalui kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah 
mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan 
pakaian, duduk mengobrol di ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost 
kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda, 
seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis itu 
berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil. 
Aku tak mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai.
 Ha ha ha hampir lupa, cairan itu masih berserak di lantai. Buru-buru ia
 pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain. Perlahan dia lap 
lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini punyaku” katanya sambil 
menunjuk setitik cairan. “Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum. 
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang 
rokok.
Seraya bangkit dan tertawa “Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya
 dong sayang. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh 
kasih dan sayang. “lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih 
menikmatinya..” bisik gadis itu, “Aku ikhlas demi Kakak” bisiknya lagi 
di telingaku. Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk 
tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam belum begitu 
larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang tamu rumah 
kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di atas dipan sederhana
 yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari tadi punyaku keluar 
masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali 
gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa 
sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku 
juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak memerlukan 
foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan 
mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan, kepuasan di malam yang 
basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan malam aku ada janji dengan 
Cenit kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini. Padahal 
malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms
 aku minta ketemuan, ada yang penting katanya. Aku paham yang penting 
itu apa.
Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu, 
ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost nya yang menyambutku. Dia 
suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Cenit, dia bilang sedang 
keluar sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Rinay kawan 
sekampungnya. Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama 
kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh tinggi semampai berkulit putih
 dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia pergi ke 
belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya mengambil 
sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari belakang 
ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan montok. Apalagi malam 
ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut tanpa lengan.
 Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang terbiasa 
bekerja cukup keras.
Tak terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan
 pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang belakang yang agak
 gelap itu. Pantatnya lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis 
tampak putih mulus dengan tumitnya yang kemerahan. Kalau tidak ingat 
Cenit kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia 
sudah punya pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki 
yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali 
sambil membawa nampan dengan segelas air putih. “Maaf, Bang, cuma ini 
yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas 
itu di meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis 
itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau tidak mau 
merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi 
semampai, tubuh itu tampak padat dan berisi. Buah dadanya tampak 
menantang tatkala ia berdiri.
Liani mengibas-ngibaskan rambut 
panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum. “Ada perlu apa, Bang? Kok 
tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi 
rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
Gadis yang
 satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang 
lain memanggilku’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak 
lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain saja.
Gadis itu 
duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di perutnya. 
Tak ada canggung sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya dan 
membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke batas paha. Aku 
menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami 
berdua sementara Cenit dan Rinay entah ke mana.
“Masih lama mereka 
kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku. Gadis 
itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya 
malam ini. “Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, 
kedua pangkal lengannya terangkat ke atas menampakkan ketiaknya yang 
bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka 
kembali. Katanya ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di 
depanku. Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus 
itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan. 
Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm tahu dong. Nggak sabar pengen ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen  ‘itu’ ya ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu  kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono. Gadis itu
merapikan
 posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus 
menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya 
itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun tidurnya yang 
berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin
 apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di 
bahunya. “Nggak.” Jawabku sekenanya. Ku lihat ia menatapku tajam. Aku 
balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa rasanya 
gadis ini? apa bedanya dengan Cenit kekasihku?
Pikiran-pikiran itu 
berkelebat cepat begitu saja. Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak 
ingat lagi dengan Cenit, dengan Rinay temannya yang barangkali akan 
pulang. Aku pun bangkit, meraih tangan gadis itu. Liani diam saja, tapi 
dia tersenyum sambil tertawa sedikit.
“Nggak ada waktu, Kak” katanya 
pelan tapi membalas remasan tanganku. Kuselipkan jemariku di jemarinya, 
dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin 
melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Cenit dan Rinay belum 
pulang. Dan itu tidak masalah apakah mereka akan tahu atau tidak, aku 
pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan itu mengiang di telingaku 
semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi jika kulihat tubuh Liani yang 
montok dan dadanya yang naik turun menahan nafas yang mulai terengah.
Semakin
 lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa tubuh 
gadis itu memanas. Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang tertahan. 
Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang disuguhkan gadis 
ini, meski bukan kekasihku, tapi perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia
 memang beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa, 
tapi tak kusangka dia menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang 
begitu terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak di dipan 
itu aja, yuk.” Ajaknya. Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan
 agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur tipis 
jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, 
seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah 
dipan. Di pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti
 menurunkan gaun tidurnya.
Aku hanya bisa memandang mengagumi 
tubuhnya yang putih mulus dan penuh padat berisi itu. Sementara 
menurunkan celana dalamnya ia memandangku sembari menatap ke arah bawah.
 Oh, aku belum membuka celana panjangku, terlalu mengagumi kemolekannya.
Tak
 lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di 
bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh 
lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Cenit memerlukan fore play 
yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia barangkali tidak memerlukan 
itu. Atau “Kalau malam begini aku selalu membayangkan bersamamu, Bang. 
Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leherku. Pipinya 
menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi 
hangat itu. Liani mengangguk. “Kadang bayanganmu begitui jelas seolah 
merasuki tubuhku. Kalau begitu aku suka emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya
 coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, 
menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku. Ya, terasa hangat 
dan basan
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. 
emhhmmm tanpa sadar ‘dia’ pun  sudah basah Aku mencium telinga Liani, 
dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding 
kegelian.
“Kadang” bisiknya lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya,
 aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku 
menyelusupkan jemariku ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya aku 
memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis 
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang 
selama ini dia pendam
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya  “Aku udah 
gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu jangan 
sia-siakan malam ini walau sebentar, aku akan puas.”
Gadis itu 
menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka 
pahanya sedikit lebih lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke 
liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar 
memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah 
yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai 
bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. 
Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadaku.
 Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di 
lepaskan dalam pelukanku malam ini juga.
Terus terang di menit-menit 
penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Cenit. Gadis ini butuh 
dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke
 dalam. Segala rem sudah di lepas dan kami pun melayang tanpa kendali 
menikmati semuanya malam ini.
Kurasa hujan di luar semakin deras. 
Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi 
menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak 
sedahsyat gemuruh nafsu kami berdua, aku dan Liani yang tengah menikmati
 cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk liang 
senggamanya. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan memelukku 
dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan 
menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh ehhhhhhh..hhhhhh.” 
erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke kemaluannya. Luar 
biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas.
Kurasa
 sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang 
kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat 
batang kemaluanku yagn menegang.
Aku kendurkan sedikit gerakanku. 
Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Liani mengerti, ia 
meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada
 besar yang putih berkeringat itu meenyeruak dari pelukanku. Buah dada 
gadis desa yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara anak-anak kota 
yang besar tapi loyo.
Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan 
mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting susunya yang 
merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan.
“Ohhh..
 geli, Bang!” aku terus mengulum. Berganti ke kiri dan ke kanan, 
kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas.
 Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi 
Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku 
juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah 
tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang 
mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan 
buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis itu. Kurasa dia 
mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian ia menurunkan 
kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, BAng.” pintanya.
Aku
 juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling 
berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya 
yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang
 kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari 
liang kemaluan Liani. Malam ini sunguh hanya milik kami berdua. 
Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Liani 
melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit lalu menahan. 
Gepit tahan gepit tahan. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan 
gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai 
kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening. 
Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling 
memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Cenit dan Rinay keburu 
pulang.
Aku pun mempercepat ayunanku sehingga di malam yang menjadi 
sunyi ini terdengar jelas suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan 
Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. CrekCrekkk.. Crrek.
Kejantananku
 naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. 
Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan
 akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan 
pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas 
kemaluanku yang keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan 
lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa
 gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai tuntas. PenggaRinaynya 
adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia benamkan 
sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas 
nikmat. Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit 
kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia
 mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhhhhhhh euuughhhhh.. ahhhhh ”
 rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya nafasnya 
menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah 
aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku.
 Tapi sesuatu menyebabkan aku berhenti Masih dalam keadaan bersetubuh 
dengan Liani ada sekelebat bayangan melintas. Aku memandang dengan ujung
 mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun
 terkejut  bayangan siapa itu?
Perlahan kulihat wajah Liani yang 
matanya masih setengah terpejam. Kemudian matanya perlahan terbuka Dia 
pun melihat bayangan itu dan menatap langsung ke ruang tengah. 
Samar-samar di bola matanya yang hitam itu kulihat dua sosok berdiri 
menatap ke arah kami.
Itu bayangan Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah 
beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami yang sedang 
asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi 
crekcrekk.crekk.. alat kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah, 
aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun Liani sudah 
tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak memberi tanda bahwa 
kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah membiarkan mereka 
menonton kami yang sedang beradegan mesra di atas ranjang.
Terdengar 
bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami 
yang masih dalam posisi senggama ini. hmmm aku tahu itu suara Cenit, aku
 bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak tahu apa yang harus 
kuperbuat, kemudian Liani melakukan sersuatu yang tidak kuduga. Dia 
seperti melambaikan tangan dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’ 
kostnya itu masuk ke kamar
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok.” 
Bisiknya di telingaku. “Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak 
aku enak. Mereka juga pasti maklum.”
Oh, ya? Bercinta dengan orang 
yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka pula? Apa pula ini?Exibit kah 
ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan sejauh itu. Kalau bagi Liani 
tidak apa-apa, dan Cenit serta Rinay pun justru menikmati pemandangan 
ini. kuteruskan saja.
Perlahan dua gadis itu berlalu, seperti tak 
terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil Rinay yang terdengar. Aku memandangi
 mereka yang pergi menjauh, tiba-tiba Cenit menoleh ke belakang. Dia 
menatap mataku langsung, di bibirnya tersungging senyuman yang aneh  di 
situasi seperti ini senyum yang tampak nakal.
Aku tak tahu apa akan 
terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan Cenit? Bagaimana pula 
aku akan menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa
 lagi aku berlagak seperti seorang lelaki yang setia hanya pada satu 
perempuan. Tapi tampaknya Cenit pun tak keberatan jika aku mengencani 
kakak kostnya Liani.
Ah. Dunia ini memang aneh di tempat yang 
tampaknya biasa-biasa saja ternyata tersimpan bakat-bakat cinta yang 
terpendam yang menanti untuk dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki 
semacam aku. Aku tak tahu harus bergembira atau entahlah!
Aku 
meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak 
syahwatnya kini giliran aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi 
 kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang basah itu. Bunyi 
crek.. crek.. crek.. creeeek terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin
 aja, Bang.. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah 
hendak menghapus keraguanku. Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini 
dengan irama yang lebih cepat dan tak lama kemudian creettcretttt sambil
 menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang 
mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. 
Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani mengenakan pakaiannya. 
Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut
 masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang 
selama ini didambakannya. Seraya membetulkan tali beha dan menyempalkan 
payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku
 hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari 
hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok. 
Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana 
yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang 
berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang 
seksi. Aku menelan ludah pasti dia bakal marah karena kelakuan kami 
tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak
 tanda-tanda emarahan di sana. sejenak dia hanya diam.. kemudian 
tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan 
tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah, 
bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin 
dipuaskan juga.
“Cenit maafkan.. aku telah” belum sempat kuselesaikan
 kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku dan menciuminya dengan 
garang. Oh, gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah 
atau sudah terangsang. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan 
bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin 
berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air 
liurku, meneguk dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap 
cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang 
selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan 
gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak memakai 
beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali 
melihat kalian berdua tadi. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua
 susunya ke arahku. Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku
 mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakankuterhenti. Dengan 
wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang
 ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan 
hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit
 mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan 
rambutku. Masih dalam posisi duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya 
yang sudah setengah terbuka. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga 
gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan
 bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak 
pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir. Bahkan dia 
menyuruhku untuk memegangnya jemariku menyelusup ke liang senggama 
Cenit, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh 
klentitnya yang merah dengan ujung jemariku. “Akhh.” Cenit melolong 
tertahan. “Geli, Kak!” desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk 
leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan 
Liani tadi bercinta.
Tak banyak cingcong kurengkuh dan kugendong 
tubuh hangatnya ke dipan itu. Di sana dia kubaringkan. Tapi ketika aku 
hendak membuka celana, tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah 
bugil itu. Aku heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, 
Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana panjangku. 
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi 
pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat.” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku” katanya agak keras.
Ia
 turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah 
dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring, 
Cenit pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan 
dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” 
Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelaminku itu dan 
memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia
 menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke 
tubuhnya.
“Ehhhhh. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang 
rakus menetek di susu ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan 
pantatnya dengan cepat oh batang kemaluanku di cengkram dan di 
gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku 
lakukan. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan 
capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat menekan-nekankan 
pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari 
memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek
 crek terdengar lagi kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan 
kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari 
meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa 
terus merembes dari kemaluan Cenit. Dia sudah sangat terangsang. Liang 
kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan. 
Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan vaginanya. Terang 
saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan, 
dia pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Aku terus 
meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dadaku,
 hampir membuatku sesak nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama
 sepuluh menit Cenit bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya. 
Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi 
keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung 
dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang 
tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan 
keringat di wajahku. Pada saat itulah kembali aku terkesiap. Di ujung 
ruangan, di pintu kamar Cenit, tegak sesosok tubuh perempuan menatap 
kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Rinay, teman sekost 
Cenit. Dia menatap kami tanpa berkedip. Tangan kanannya tertangkup di 
dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas ujung gaun tidurnya yang 
di atas lutut.
Ketika kami saling memandang dalam posisi Cenit masih 
di atas dan asyik dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay 
mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha
 gadisnya yang padat
Entah sadar entah tidak gaun itu sudah 
sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana dalam yang 
tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam itu menampakkan 
segumpal tumpukan daging berbulu dengan celah merah di tengahnya.
Ujung
 jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan 
memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun kemudian dia menatapku.. dengan mata 
setengah terpejam.
Saat itulah Cenit menengadah. Dan menyurukkan 
kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. 
Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai 
habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Cenit berdenyut 
hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan nikmat nafasnya sangat 
memburu dan..
Dia pun lunglai dalam pelukanku. Sementara air mani 
gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai
 bagian perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya membiarkan ia 
mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak 
orgasmenya.
***
Sampai beberapa menit kami masih berpelukan, 
kejantananku yang masih tegang itu masih berada di dalam ’sangkar’-nya. 
Cenit diam tak bergerak dalam pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu
 yang bersemayam dalam tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur 
nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda perlahan dia bangkit dan 
melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. 
Perlahan alat kelaminku itu keluar dari vagina Cenit. Ketika sudah 
keluar seluruhnya. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang 
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti 
bunyi plastik lengket yang basah akan di lepas..
Clep..crrrllek. 
Cenit tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya 
atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia 
pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya 
menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti
 baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan 
berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana
 dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit sudah
 kembali. Membawa sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya. 
“Pakai ini aja, Kak!” katanya seraya mengambil celana panjang dan 
kolorku, melipatnya dan merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali
 ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas 
minuman, kalau tadi Liani membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit
 menyuguhiku dengan teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa 
kehausan, bayangkan saja melayani dua wanita secara bergilir tanpa 
istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku
 terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum sempat 
bertanya Cenit berkata perlahan, “Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku
 tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti 
bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis 
itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semaleman besok kamu kan 
nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami 
masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang permainan kami 
berdua barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Cenit, sampai-sampai 
kuat main di atas hampir setengah jam lamanya, sementara aku anteng aja 
di bawah.
Tiba-tiba Cenit bangkit”Kak,” katanya, “Aku ke dalam 
sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit 
merapikan dandanannya yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku
 pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu 
kamarnya aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain 
gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur 
pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak 
putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Rinay, hmmm jantungku 
berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi ketika aku dan Cenit 
sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu 
sedang apa dia sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai pintu 
kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi, bantal tersusun 
di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di biliknya? Sedikit 
heran aku terus melangkah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya
Oh
 di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit, 
sementara cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin. 
Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan 
tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang 
sudah ada Rinay yang tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku, 
ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan 
pandangannya ke tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya. Aku ikhlas aja, yang penting. Dia bisa juga ikut merasakan .”
Aku
 melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan 
sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami 
lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi kami bertiga 
bersahabat, resminya kamu memang milik aku tapi.. berbagi antar sahabat 
tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama tidak dengan 
yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat bahu. 
Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia tidak marah apalagi jadi 
membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia jadi terangsang dan 
menikmati juga, apa salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam 
ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara menjadi 
ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin 
mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan
 singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru, 
dia memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah tahun. 
Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang dipenuhi 
poster Cenit sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula
 Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Cenit yang memintaku untuk
 memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis paling pendiam yang jarang 
ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula hehehe.. dasar gede
 milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar 
pintu kamar terbuka, perlahan Rinay masuk ke kamar itu. Seperti orang 
baru bangun tidur. Ia langsung duduk di dipan itu, “Ada apa, Kak?” 
tanyanya seolah tak mengerti. Aku tersenyum, pandai juga dia 
menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua
 bola mata gadis itu membulat menatapku seolah tak percaya. Terus terang
 saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya tumbuh 
sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi tak mengurangi 
kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku menarik 
gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti menolak,
 tapi kemudian malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga.”
“Kamu
 bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku. Aku 
mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya 
terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih
 erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat beberapa
 kali ia mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku mulai 
merengkuhnya. Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku 
tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap gumpalan 
dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku
 membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di 
leherku. Nafasnya terdengar agak memburu, gadis ini sudah mulai 
terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata belum
 cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya 
gairahnya lebih menggelora.
Entah berapa lama kami saling mencium 
saling menyusup dan berkelindan, aku pulang suka buah dadanya. Sangat 
kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting susunya sangat kecil, 
hanya sebesar biji kacang hijau. Tampak sekali putting itu sudah 
mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu 
menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan 
adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas, 
semakin intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir 
pelicin yang kental sudah mulai keluar.
Perlahan aku mengusap-usap 
jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh 
bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi
 pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan 
mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay 
sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun 
memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti 
menembus lipatan daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep. 
Masuklah aku ke tubuh Rinay. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan 
nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat 
terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya, 
tapi dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit 
pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. 
Sementara Rinay pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di
 leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas.
 Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin 
membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, 
apalagi rumah kost itu tidak berAC, tubuhku pun kembali berkeringat. 
Tapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami
 masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan 
penisku secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu 
memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek’.
 Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Rinay dengan 
kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan 
Rinay membalas dengan mengempot ke atas. Menggerakkan pinggulnya 
berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku
 beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam.
“Ahhh,” gadis itu 
mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil 
menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang 
hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan 
itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan 
membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif 
mengocok dan menekan memek Rinay. Tulang kemaluan kami beradu, bibir 
kemaluanya yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat 
dan sangat basah karena lendir mani Rinay sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat.. “Ooohhhhh.”
Kumpulan Cerita Sex 2018 -Aku
 membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan 
tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring 
dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes 
dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kakeigh oh…!”
Berbarengan
 dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring
 dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara 
liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa
 menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa 
nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya 
sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami
 saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari 
posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang cantik. 
Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah dan bibirnya tampak 
membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari sela kemaluannya.
“Enak,
 Rinay?” gadis itu mengangguk. Kemudian ia mengusap keringat yang 
menitik di dadaku. “Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” 
katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Beberapa
 saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit 
itu. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, 
menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia 
ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh 
tertidur, tak menyadari air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku 
pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun. 
Ketika itu aku dan Rinay masih berpelukan, sementara di luar terdengar 
suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu
 adalah suara Cenit yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan 
terdengar suara orang sedang mandi, barangkali Liani sedang membersihkan
 tubuhnya.
Rinay pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah 
dadanya yang kenyal itu menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah 
terdengar Cenit sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari 
bibirnya terdengar nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba 
terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan masuklah
 Cenit ke dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut 
kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura 
tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik tapi dia juga 
pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan menarik kain 
sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku
 menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah
 beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah 
menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh, 
jauh lebih besar dari gagang sapu ini pantesan enak sekali.” Guraunya 
sambil tergelak sendiri. “Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Rinay. Tuh 
mumpung lagi berdiri”
Hampir tak kuat aku menahan tawa dengan canda 
Cenit, tapi tampaknya Rinay menanggapinya dengan serius, dia 
menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas dan mengempot ke bawah. 
Bibir kemaluannya terasa menempel di batang kemaluanku.
“Tuuh, kan! 
Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay. Enak kok!” sergah Cenit sambil 
memegangi pinggang gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku pun 
memegang pangkal kemaluanku, menghadapkannya ke memek Rinay yang hangat.
“Udah
 pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan 
pantatnya, maka. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek 
Rinay. “Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa” 
bisik Cenit agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Cenit di kamar 
ini, kami mengulangi permainan semalam, tapi kali ini Posisi Rinay ada 
di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong
 tubuhnya dengan meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Sekarang 
posisinya berubah, aku berbaring sementara Rinay duduk mengangkang di 
atasku. Alat kelamin kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan 
benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum kemaluanku sampai ke 
pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir 
membasahi jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang sementara masih
 bersatu, bibir Rinay tersenyum, beberapa kali ia menyibakkan rambutnya 
yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun, gerakanya seperti orang sedang 
naik kuda. Naik turun berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran 
Cenit di sana. ternyata ia berdiri di belakang Rinay, memperhatikan kami
 yang sedang bercinta dengan gaya seperti itu. Gadis itu menyeringai 
lebar menampakkan sederetan giginya yang putih bersih.
Kemudian 
tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada 
besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut 
kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai akhirnya bugil 
sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di 
susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas kepalaku dengan jemarinya. 
Sementara Rinay terus asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku
 memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. 
Cewek itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita
 enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas. Aku setuju, dia 
sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang 
mengocok-ngocok dari atas.
Cenit melepas pelukannya dan naik ke atas 
ranjang, mendudukkan pantatnya di dadaku mengangkang lebar menampakkan 
memeknya yang tercukur rapi. Gundukan dagingnya putih mulus dan 
kemerahan, bibir kemaluannya tebal dan dipenuhi cairan kental dan 
hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian 
mulai menekan ke arah mukaku. “Ahh ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi 
nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. 
Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu. Cenit segera 
merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya 
Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke 
depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan mukaku.
Wajahku 
semakin tertekan oleh gumpalan memek Cenit, sementara pahanya menggepit 
kedua pipiku dengan kuatnya. Akkkh aku hampir tidak bisa bernapas. Ya 
ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan aku sesak nafas!
Terdengar
 suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki 
kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan 
cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek 
Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh cewek itu 
lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk berbarengan ke 
tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan sekaligus, 
montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun 
bangkit, perlahan Cenit turun dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan
 mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah 
kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti 
bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih 
menegang dan basah bergelimang cairan memek Rinay.
Aku terdiam 
sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi mencapai 
puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan permainnya, ketika itulah 
tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada Rinay dan Cenit 
yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan 
pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih 
berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan 
Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan 
susunya yang montok itu ke balik beha. Wajah Liani semburat memerah. 
Mungkin dia tadi mendengar lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan 
menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan
 ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya 
menampakkan kedua paha yang padat dan putih mulus. Sementara Rinay dan 
Cenit bergegas keluar kamar, meninggalkan kami berdua saja di sana. 
semerbak wangi harum tubuh Liasni menusuk hidungku. Gadis ini baru 
selesai mandi.
Liani naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan 
kejantananku ke memeknya yang, ya ampun, ternyata sudah bengkak merekah 
merah dan basah pula. Tapi siapa tahan menahan tubuhnya yang tinggi 
montok itu setelah tadi ditindih oleh dua gadis montok sekaligus.
Aku
 bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget. 
Tapi dia menurut. Kemudian kusuruh ia berdiri dan  ini dia aku ingin 
merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan 
menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di depanku,
 Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela
 bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah. Cairan kental 
menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh
 di dadanya sudah sedemikian hebat. Tampak dari buah dadanya yang 
menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman jantungnya yang 
meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani 
sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin menunggit 
menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju 
menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu. Creepp.. 
kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang 
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan 
gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke 
depan. Akhirnya masuk juga. Oh, rasanya seperti dipilin-pilin. Aku 
menekan lagi kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat Liani
 seolah menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh.” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang. Emmghhh”
Aku
 bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku 
rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih 
buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat
 kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis 
itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi 
agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh kami semakin berkeringat 
ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan 
menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak sulit main 
dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati 
permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika
 sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay 
masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke 
ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami tak 
mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke depan
 sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu menyatu
 erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang dan basah oleh 
keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat, semakin lama 
semakin hebat.
“Aghhhhhhh” aku menggeram menahan rasa. 
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih
 tak kalah dahsyat bahkan lebih hebat dari erangan Cenit dan Rinay 
berbarengan.
“Bang agh! Enak banget,oh Aku gak tahan lagi!”
Samar 
kulihat Rinay mengenakan celana dalamnya. Ketika itu pula aku dan Liani 
saling menekan hebat menahannya dan merasakan detik-detik penuh 
kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat bercucuran dari 
sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan  srrr.. keluar banjir yang 
hebat. Tubuhnya bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun 
menekan semakin dalam.
Mmhhh berkali-kali kemaluanku seperti meledak 
dalam cengkraman memek Liani. Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis 
itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas
 nikmat di pagi nan cerah itu.
Rinay mendehem kecil ketika kami 
menyudahi permainan itu dengan rasa puas. Liani menjatuhkan tubuhnya 
yang basah oleh titik keringat di dipan, menelentang dengan nafas masih 
terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak membengkak, merah dan berkilat 
penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam keluar dari kamar, di dekat 
pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia
 pun berlalu.
. Setengah
atasnya
bersandar
busana
Cenit
di dinding
duduk
gadis
itu
kedua
lututnya
masih
memeluk
rapi
sambil


 
0 comments:
Post a Comment